top of page

Suatu Ikhtiar Membangun Jati Diri

  • Sidik Permana
  • Jun 4
  • 8 min read

ABSTRAK

Nurani bukan hanya soal kebijaksanaan diri untuk menahan dan mempertimbangkan diri dalam menghadapi berbagai situasi, namun ia juga menjadi jembatan bagi sikap kritis kita dalam melihat berbagai persoalan. Sikap kritis yang tidak tersampaikan seolah membiarkan kejahatan merajalela dan itu bertentangan dengan nurani. Dengan sikap kritis saja tidak cukup, ia mesti tersampaikan dan menggugah hati publik untuk melihat bahwa dunia ini tidak baik-baik saja. Tantangannya adalah siapa yang mesti memulai dan apa yang harus dipersiapkan. Itulah mengapa nurani menjadi jembatan kita untuk bersikap dan berani menyampaikan sikap kritis demi kemajuan peradaban Indonesia. Bicaralah! Mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan. Selain harus memantaskan diri, juga kita harus memiliki daya agar “bicara” itu dapat diterima dan membangun kesadaran publik.

 

Kata kunci: nurani, kritis, peradaban.

 

LATAR BELAKANG

         Pudarnya sinyal nurani adalah alarm ancaman bagi peradaban Indonesia yang terus menguat, mulai dari level masyarakat hingga penyelenggara negara. Misalnya, dalam kasus kecelakaan pikap di Desa Aek Batu, Labusel, Sumatera Utara, dimana warga berbondong-bondong menjarah muatan telur yang dibawa pikap yang kecelakaan tersebut. Bahkan, dalam laporan yang Halimatu Sadiah (2025) pada laman radarbogor.jawapos.com, disebutkan bahwa diduga juga telepon genggam milik korban meninggal, kebetulan kernet pikap yang mengalami luka berat dan meninggal di rumah sakit, termasuk dompet dan jam tangan hilang dalam aksi penjarahan tersebut.

         Tidak selesai di situ, pada level pemerintah pun demikain, seperti buruknya komunikasi pemerintah dalam mengurangi ketegangan publik. Pertama, ada dari peristiwa Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang merespons fenomena tagar viral #KaburAjaDulu dengan pernyataan, “Mau pergi, ya silakan saja. Kalau memang tidak ingin kembali, juga tidak masalah.” Ataupun, ungkapan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang mengatakan, “Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia,” yang merupakan respons atas aksi “Indonesia Gelap” sebagai bagian dari kritik pada kebijakan pemerintahan Prabowo. Adapun respons Kepala Komunikasi Kepresidenan/PCO, Hasan Nasbi, soal teror kepala babi yang ditujukan kepada salah satu jurnalis Tempo dengan mengatakan, “dimasak saja”.

         Bagi Pakar Komunikasi Politik, Gun Gun Heryanto, sebagaimana ditulis oleh Ulya (2025) pada laman Kompas.com, kondisi ini menunjukan adanya ketidakcakapan pihak Istana Kepresidenan dalam mengelola komunikasi publik dan seharunya mereka memerhatikan empat hal, yakni mutual understanding, goodwill, damage control, dan policy orientation. Hal ini juga dikritisi oleh Widodo (2025), dalam perspektif teori komunikasi krisis, yang menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya mengadopsi strategi yang dapat meredam kepanikan publik dan membangun kembali kepercayaan, bukan justru memperlihatkan pola komunikasi yang elitis, tidak empatik, dan defensif terhadap kritik publik—justru sering memprovokasi reaksi lebih luas, yang mana hal itu diperlukan saat ini.

         Meskipun hanya menampilkan sebagian kecil dari persoalan memudarnya nurani, tapi itu sudah cukup membuat kita sadar adanya rasa yang hilang dalam hati nurani sebagian orang Indonesia. Barangkali, kita perlu sedikit mengkritisi persoalan ini, sebab lenyapnya nurani dalam kemanusiaan akan menempatkan potensi kejahatan semakin liar dan mendorong kebaikan untuk mati secara perlahan. Harapannya, perbincangan soal nurani hari ini menjadi gerbang untuk memulihkan peradaban bangsa.

        

PEMBAHASAN

Nurani dan Pahatan Kemegahan

         Nurani adalah refleksi cahaya batin diri tentang sesuatu yang menjadikan kita sebagai “manusia”, bukan sekadar hewan yang mengandalkan nalurinya. Alih-alih manusia melihat dunia secara destruktif, manusia dapat menempatkan nurani untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Nurani sendiri adalah cahaya, cakrawala untuk menyeimbangi ruang hasrat dan pikiran. Levinas (1991) menyebut bahwa penerangan itu mampu menyingkirkan perlawanannya atas eksistensi, karena cahaya membuka cakrawala dan mengosongkan ruang—mengeluarkan keberadaan dari ketiadaan. Ketiadaan rasa dalam jiwa manusia, tempat nurani bersemayam sepanjang hayatnya, yang mudah sekali terabaikan.

         Sayangnya, nurani begitu rapuh. Jarang sekali orang membuat pilar atas nama nurani, dibandingkan res cogitans (jiwa yang berpikir) dan hasrat, ia cenderung ornamen indah dalam kemegahan jiwa manusia yang tidak jarang berdebu karena usang dan tidak terawat. Dalam beberapa hal, ia bahkan ditengarai sebagai penghambat bagi prinsip kebebasan atau sekadar pelepasan hasrat-hasrat hormonal. Padahal, ia sendiri adalah satu perwujudan—bila bukan kasih tuhan—takdir evolusi yang menakdirkan manusia untuk menjadi makhluk yang melampaui “baik dan jahat”, evaluator yang membuatnya nampak tidak seperti makhluk hidup lainnya di dunia.

         Ketika nurani terabaikan, dan tidak lagi menjadi keindahan bagi lorong-lorong kehidupan, jiwa dan raga, maka manusia sebagai bangunan hanya menjadi reruntuhan tidak bertuan, kosong, dan hampa. Bencana humanitas itu akan segera meruntuhkan peradaban, mengembalikan manusia ke periode barbarik yang kurang memadai dalam melihat humanitas. Hal yang mengerikan adalah pembangkangan nurani beramai-ramai, dipertahankan dalam kolektivitas publik, dan dibenarkan atas nama egoisme semata, yang menjadi tanda besar jatuhnya nilai peradaban bangsa. Sama seperti kita memberikan motivasi pada si miskin untuk terus bekerja hingga kaya oleh sang motivator yang mewarisi kekayaan dari papi dan maminya, memulai start “perjuangannya” di angka 90 dari 100.

         Masalah nurani ada pada diri setiap manusia, namun kurang mendapatkan penghormatan yang layak. Dengan sejenak berpikir, mencerap pemikiran itu pada pertimbangan nurani yang matang, mempermasalahkan setiap keputusan dalam pikiran, sejenak kritis demi kemaslahatan, mungkin itu jauh lebih baik daripada mempertaruhkan masa depan secara cuma-cuma. Kita menyadari, bahwa nurani cenderung tertekan dalam relung hati yang dalam. Hanya keberanian dan kepekaan kita yang akhirnya menyelamatkan diri dan orang-orang yang dicintai dari kebodohan dan perbudakkan pikiran, hingga pendorong bagi terwujudnya dunia yang lebih baik. Maka dari itu, perdebatan atas nurani mestilah tampil di permukaan, dan bukan hanya tenggelam dalam relung hati yang gelap. Kritik ini diajukan dengan alasan bahwa kurangnya perdebatan terbuka dapat merugikan perkembangannya (Millar 1989). Konyolnya, kita membiarkan pembangkangan terhadap nurani dan itu sama dengan membiarkan kejahatan berkelana, membiarkan ketidakpantasan berjalan mengangkangi kesucian.

        

Aku Ingin Meraih Agape

         Kita berharap, nurani menjembatani kita untuk menyelamatkan banyak manusia, sejauh yang bisa kita lakukan hingga di tahap menuju agape, yang menurut Bagus (1996) yakni cinta yang tidak mementingkan diri sendiri. Kita mestilah melihat diri kita sebagai manusia paripurna, yang menahan hasrat egoisnya, untuk menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama dan pergi menuju Taman Eden dengan tenang. Namun, bagaimana nurani ini tersampaikan ke hati setiap orang, sedangkan tidak semua orang membukakan ruang bagi cahaya di celah jiwa-jiwanya.

         Maka, bicaralah! Apalagi yang harus dilakukan. Kita cenderung untuk menyembunyikan itu semua, karena kekhawatiran pada dampak dari “perbedaan”, telah membuat nyali kita ciut lebih awal. Terlebih, ketika kita kurang siap dalam menghadapi tantangan itu, mentalitas telah lebih dulu meredupkan semangat partisipasi kita. Masih ingat dengan momen di mana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berdebat dengan seorang anak bernama Aura Cinta, yang diketahui baru lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA), tentang wisuda dan acara perpisahan. Peristiwa ini menyita perhatian sebagian orang, bukan tentang substansi perdebatan mengenai ekonomi, melainkan tentang esensi dari interaksi, kritis, dan keterbukaan. Mungkin, kita akan menyadari bahwa apa yang diungkapkan oleh Aura Cinta begitu lemah, goyah, dan kurang matang. Namun, keberanian dia mengungkapkan itu di depan media dan otoritas yang memonopoli opini, layak mendapatkan apresiasi di tengah negara demokrasi cacat (flawed democracy).

         Belajar dari kasus Aura Cinta dan Dedi Mulyadi, kritis memang perlu mendapatkan persiapan. Terkadang, hasrat kita tidak memberikan waktu sejenak untuk meluangkan pikiran, memutuskan, dan mewujudkan. Maka, nurani menjadi jembatan atas hasrat dan pikiran kita yang meronta-ronta. Kemudian, guna memastikan hal itu terwujud menjadi sebuah wacana, ruang-ruang demokrasi mestilah menjamin orang-orang seperti Aura Cinta. Inilah bagaimana ruang demokrasi dibentuk, melalui kritisisme yang tersalurkan dengan damai kepada publik, yang sebelumnya telah melewati fase “evaluasi nurani”.

         Kita mesti menyadari, bahwa semua orang bisa berbicara. Namun, di satu sisi, kita mesti membedakan antara kebebasan bicara publik dan otoritas publik. Auerbach, sebagaimana James (2024) kutip, menilai jika demokrasi dapat bertahan apabila terdapat persetujuan pihak yang kalah, individu yang menundukkan identitas mereka kepada identitas orang lain dan memerintah melalui prinsip yang melampaui identitas biner, sebab demokrasi sejati melibatkan pemeriksaan prasyarat semua orang. Namun, pembicaraan kita bukan soal mana yang memiliki otoritas lebih untuk berkata-kata, karena itu telah jelas memperlihatkan bahwa dalam hal tertentu orang berbicara dengan kapasitasnya, dan itu sangatlah diperlukan untuk merawat pikiran. Tetapi, hal yang perlu dievaluasi adalah ruang untuk memungkinkan semua itu mewujud dan menjamin suara-suara dari nurani yang terabaikan. Barangkali, ada secercah cahaya yang tersembunyi dan perlu diungkapkan kepada publik. Maka jelaslah bila ruang kritis perlu disampaikan untuk menyalurkan pesan dari hati nurani terdalam tanpa syarat yang menjauhkan kita dari hak-hak demokratis yang dijanjikan.

         Tetapi, satu catatan penting yang perlu diperhatikan adalah agar sikap kritis kita bernilai dan layak diterima orang, maka kualitas substansial dalam pesan-pesan yang hendak disampaikan haruslah memadai. Nurani berperan dalam menjaga agar kualitas kritis kita memadai, sehingga tidak mempermalukan diri kita sendiri ketika berhadapan dengan publik atau sekadar menyampaikan rasa egoisme ketika dengan dalih idealisme. Berpikir kritis adalah proses berpikir yang didasarkan pada persiapan pribadi, seperti: pendidikan, pelatihan, pengalaman, perolehan alat dan keterampilan berpikir dalam penggunaannya (McVey 1995). Memantaskan diri adalah bagian dari peran nurani, sehingga sikap kritis kita cukup berwibawa di mata publik. Semuanya saling bertautan dan tidak dapat diabaikan baru satu variabelnya.

         Dalam epos Mahabharata, Krishna sebagai perwujudan dari Yang Kuasa (avatar), tidak serta merta memandang dunia dan masalahnya sebagaimana manusia pandang pada umumnya. Krishna tidak mengikuti apa yang dikatakan orang tentang darma, dia dapat mendefinisikannya dengan caranya sendiri, dan dapat membenarkan definisinya dan apa pun itu, jika itu membawa seseorang ke tujuan yang diinginkan maka itu baik, sedangkan jika tidak maka itu buruk (Regmi 2018). Apa yang menjadi menarik di sini adalah peluang kita dalam mendalami pesan-pesan ilahiah, dalam hal ini Krishna sebagai avatar dari Yang Kuasa. Hanya nurani yang mampu menangkap pesan-pesan itu, sehingga Pandawa berhasil mengatasi batasannya untuk mencapai takdir yang telah dinubuatkan, yakni mengalahkan Kurawa dalam perang. Tuhan memberikan kita ruang untuk mengevaluasi jalan yang ditempuhnya, lalu bagaimana kita bisa mewujudkan langkah itu.

         Kita tahu, tidak ada peradilan di muka bumi ini yang dapat menghukum manusia atas nuraninya, yang ada adalah perwujudan mens rea-nya (niat jahat). Sebab, siapa yang bisa menilai hati manusia? Ialah manusia yang mampu melihat ke kedalaman hati yang gelap dan tersembunyi, dan itu mustahil. Tetapi, perwujudannya masih bisa kita hakimi, tentunya oleh otoritas yang dimandati. Namun, tetap saja keadilan perlu diberikan dengan bijak dan pertimbangan itu ada pada hati nurani, lagi.

         Dengan begitu, kita akan menyadari bahwa semua persoalan ini bermuara pada satu hal, yaitu manusia itu sendiri. Ketika kita berharap akan sosok pahlawan kritis yang muncul, seperti para influencer dengan narasi-narasi bombastis dan menghimpun para pengikut yang banyak, seharusnya kitalah yang meyakinkan diri bahwa orang itu adalah diri kita. Kadang, kita pun menuntut mereka menjadi mesianik demi diri kita dan menuntut nuraninya untuk turut berbicara. Kepahlawanan sering kali dipandang sebagai puncak perilaku manusia; menyaksikan tindakan heroik sungguh menarik—secara harfiah menarik perhatian kita (Franco, Blau and Zimbardo 2011). Lalu, kemanakah kita? Apakah nurani kita mati karena telah menuntut begitu banyak kepada orang yang tidak kita kenal dan mengandalkannya demi kesejahteraan kita sendiri? Jadi, mengasah nurani manusia adalah dengan melibatkan diri pada permasalahan, menyuarakannya dalam rangka mengevaluasi persoalan, sehingga menghasilkan kebijaksanaan dalam mengatasinya. Bahkan, bila memang kita harus menjadi martir hanya demi menyampaikan kebenaran itu, biarkan langit yang menjadi saksi, itulah bagaimana Yesus dan Muhammad lakukan. Memang, hal ini akan selalu menjadi tantangan yang tidak berkesudahan. Manusia adalah lautan misteri yang membingungkan. Hanya mengandalkan bacaan buku? Pendidikan formal di berbagai institusi pendidikan terkemuka? Diskusi sana-sini? Hanyalah bagian kecil dalam membangun sikap kritis, tetapi nurani adalah hal yang lain.

         Namun, penulis merasa ada satu cara untuk mengasah nurani kita, yaitu merasakan. Banyak orang kurang menghargai rasa karena sesederhana tidak merasakannya. Ketika terdapat orang yang tersiksa karena pedasnya, kita hanya bisa mengungkapkan, “makanya jangan makan-makanan yang pedas,” tanpa kita menyadari bahwa ia sedang kepedasan, atau kita tidak pernah merasakan pedas sama sekali. Kerja emosi mengacu pada upaya—tindakan mencoba—dan bukan pada hasilnya, yang mungkin berhasil atau mungkin tidak (Hochschild 1979). Nurani justru membuat kita mengevaluasi lebih awal masalah, yakni “ia kepedasan”. Begitu nurani dipertimbangkan, tentunya akan ada keputusan bijak yang dihasilkan, kendati harus berjibaku dengan perlawanan.

         Menukil sedikit dari Adorno tentang “manusia tercerahkan”. Ada kalanya kita mengembalikkan persoalan kritisisme kepada nurani kita. Apakah kemudian kita layak menjadi kritis dan kemudian diam menyaksikan pembangkangan terhadap nurani dijejalkan dan dipampang begitu saja. Atau, kita harus membara dalam menyampaikan sikap kritis kita demi apa yang diperjuangkan? Sebab, pilihan kedua ini berimplikasi pada peran kita sebagai insan cita yang bernurani, untuk tidak membiarkan pembangkangan nurani berlanjut. Pada tahap inilah, peradaban Indonesia dapat dibentuk.


KESIMPULAN

         Pada akhirnya, kita tidak bisa mengharapkan pesan dari hati nurani ini dapat dipatenkan dalam dokumen-dokumen dan berkas-berkas sakral, seperti kitab hingga konstitusi. Sedangkan, persoalan ini ada pada diri manusia. Kita masih bisa untuk menggugat, bagaimana menciptakan manusia yang dipenuhi dengan nurani yang mumpuni? Namun, kapan kita menyadari bahwa diri ini akan menjadi bagian dari perusak peradaban yang kehilangan nuraninya. Memang memuakkan, tapi cara kita mengasah nurani, di antaranya adalah dengan menyuarakan dan merasakan nurani itu sendiri. Maka, kita akan melihat kesadaran bertumbuh, sebagai modal dalam membangun peradaban.

2 Comments


w
Jun 07

wow tulisan yang bagus sekali

Like
Guest
Jun 12
Replying to

Terima kasih.

Like

Be notified of new publications

Get to know Jakarta Philosophy

Follow us to engage with thoughtful, student-driven explorations of philosophy and critical ideas.

  • Instagram
  • LinkedIn
goatlogo-removebg_edited_edited_edited.p

© 2025 Jakarta Philosophy. All rights reserved.

bottom of page